ffffff
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
banner here

Ngeli Nanging Ora Keli : Sebuah Perspektif

source: Nurul Iman Media

Seiring berjalannya waktu, tradisi yang ada di sekitar semakin beraneka ragam. Entah sebab tradisi baru ataupun adaptasi dari tradisi yang sudah ada sebelumnya. Namun, tradisi atau kebiasaan manusia selalu berputar dan berganti entah itu makin kental atau justru makin pudar. Ibarat roda yang berputar, suatu kebiasaan atau tradisi memiliki masanya tersendiri.

Sama halnya dengan eksistensi suatu hal, tidak serta merta langsung naik ke permukaan. Namun melewati masa merintis dan bergerak di bawah permukaan. Hingga sebab usaha atau hal yang tidak sengaja memaksa untuk naik ke permukaan. Hal ini senada dengan kehidupan pribadi seseorang. Kadang berada di atas kadang juga turun drastis dan tidak terlihat pergerakannya.

Hal ini juga terjadi dalam media pesantren. Sebelum pandemi covid-19, pendidikan pesantren masih kekeuh dengan penyampaian kajian melalui tatap muka. Bahkan ada yang seolah mengharamkan handphone ataupun kamera ketika kajian. Sehingga digitalisme belum bisa diterima dengan terbuka di pesantren.

Mengoperasikan handphone ketika ada acara yang tidak terlalu formal saja seluruh mata tertuju padanya, tatapan yang membenci. Pandangan tidak suka dan seolah men-judge bahwa itu tindakan yang sia-sia kentara sekali. Teori yang masih berputar di dunia turats mengesampingkan kondisi dunia luar yang makin berkembang secara teknologi dan informasi. Perlahan tapi pasti, pandangan itu semakin kentara. Tidak diperdulikan, dipandang sebelah mata, dianggap tidak lumrah sebagai santri, tidak sopan, hingga olokan yang keluar secara gamblang. Padahal kecanggihan dan keringkasan handphone bisa menjadi bermanfaat ketika berada di tangan yang tepat. Tidak hanya kesia-siaan dan menganggu waktu belajar dan mengaji. Kembali lagi, tidak semudah ini meyakinkan dan menggeser paradigma tersebut, bahwa kemudahan teknologi tidak selalu membawa kemudharatan saja. Pasti juga diiringi dengan kebermanfaatan.

Namun, bencana yang melanda hampir seluruh belahan dunia, pandemi covid-19, seluruh aktivitas manusia disarankan untuk dibatasi secara face to face. Layar-layar semakin aktif untuk melakukan interaksi. Semua hal dilakukan secara digital atau online. Mulai dari sekolah, layanan masyarakat, jual beli, dan banyak hal lain yang lari ke digital atau online.

Melihat realitas tersebut, bergerak dengan face to face rasanya sudah akan musnah. Ada hal yang memang membutuhkan digitalisme atau online untuk mendokumentasi suatu hal atau melakukan suatu kegiatan. Seperti seminar yang sangat banyak ditemukan pada masa itu dan masih berjalan sampai di masa ini.

Di sinilah, pendidikan dalam hal ini harus beradaptasi dengan kenyataan tersebut. Mau tidak mau, guna pesan dapat tersampaikan pada masyarakat umum menggunakan media yang banyak digandrungi menjadi hal yang pantas. Tidak lagi masyarakat akan memburu kajian secara face to face di tengah pandemi. Pesantren pun menyelaraskan dengan kebutuhan dan kebiasaan masyarakat yakni merambah dunia digital untuk tetap bisa memberikan pesan serta mengisi hiburan yang tidak hanya hiburan yakni ada pesan tersendiri yang disampaikan di dalamnya.

Menggunakan teknologi dan digitalisme nyatanya menjadi momok baru di pesantren. Mulanya terbiasa dengan menggelar karpet di dalam ruangan atau di ruang terbuka, kini harus masuk dalam layar 6 inchi. Kondisi ini menuntut santri untuk belajar dan melek pada teknologi mengingat Yai belum tentu paham dengan hal yang demikian. Tugas baru bagi santri untuk mengudarakan kalam serta pitutur luhur ulama terdahulu melalui media yang digandrungi masyarakatlah yang menjadi sasaran.

Perubahan yang terjadi di masyarakat memang massif terjadi dan tidak bisa ditebak sebab sangat cepat. Mengikuti perkembangan teknologi tidak ada salahnya. Asal mengikuti pitutur jawa, “Ngeli nanging ora keli”. Yang mana untuk bisa hidup sesuai zaman kita harus mengikuti apa yang ada baik perkembangan teknologi, budaya, sosial, ekonomi dan lainnya, namun tidak hanyut di dalamnya. Perlu mengendalikan kapan harus menepi untuk mengambil jeda napas dan kapan harus melaju dengan cepat.

Berangkat dari kondisi tersebut, perlahan media pesantren berada di posisi yang sebaliknya. Media dibutuhkan tidak hanya untuk mendokumentasikan kegiatan, namun ikut serta dalam syiar agama. Beberapa bagian dari pesantren secara tidak langsung membutuhkan keberadaan media untuk membantu visualisasi suatu kegiatan. Mau tidak mau, pesantren semakin bergantung pada media yang mulanya dianggap sebelah mata dan tidak dianggap sama sekali keberadaannya. Bahkan seperti makhluk yang sangat berdosa sekali jika membawa alat dokumentasi ketika kegiatan.

Namun, kondisi yang menjawab semua itu. Media pesantren yang mulanya tidak ditanyakan keberadaannya, sekarang menjadi yang sering dibutuhkan ketika ada acara. Media memiliki peran tersendiri yang dalam jangka waktu panjang bisa digunakan sebagai bahan evaluasi suatu program atau kegiatan pesantren. Di sisi lain, kompetisi juga beralih ke digital. Lagi-lagi media pesantren lah yang harus turun tangan. Sebab, unsur lain tidak terbiasa dengan hal tersebut. Mereka tidak bisa memungkiri kondisi tersebut dan harus menutup mata bahwa dahulu pernah mencampakkan media pesantren.

Roda kehidupan selalu berputar. Kondisi tidak selalu berada di atas saja atau di bawah saja. Semua bisa berganti secara tiba-tiba dan tanpa kompromi. Sama halnya dengan media pesantren ini. Dahulu menjadi hal yang sama sekali tidak dilirik namun kini menjadi hal yang ditunggu ketika ada suatu kegiatan. Selain itu, syiar islam juga menjadi salah satu hal yang bisa media pesantren lakukan. Sebab itu, rasanya tidak pantas untuk mengolok-olok dan mencampakkan suatu hal sebab hal itu tidak sama dengan yang lain. Masa depan tidak ada yang tau.


Dipta_edu
Dipta_edu Hanya seorang pembelajar

Post a Comment for "Ngeli Nanging Ora Keli : Sebuah Perspektif"

Youtube